Untuk para pengusaha pemula atau calon start up yang masih bingung
menentukan bidang usaha yang mau dipilihnya, tren seringkali jadi acuan
mereka untuk menemukan peluang usaha.
“Apa yang lagi ‘in’?” “Apa
yang lagi ngetop?” “Apa yang lagi laku?” adalah contoh- contoh
pertanyaan seputar pencarian trend. Dan kalau dilihat dari permukaan
semata, memulai suatu usaha dan profesi dari ‘tren’ nampaknya cukup
baik, kinclong oleh potensi, dan ‘dijamin’ potensial dengan cap ‘dijamin
laku’.
Padahal sesungguhnya, Anda harus benar- benar mewaspadai bahayanya sebuah tren, dan resiko besar yang ada dalam mengikuti tren!
Waktu
saya pertama kali memulai bisnis saya di usia kuliah dulu, saya pernah
membaca suatu tulisan di sebuah buku bisnis yang bunyinya, “Kalau Anda
mendengar tentang suatu peluang dari media dan lingkungan Anda, berarti
Anda sudah terlambat untuk ikut di dalamnya.”
“Mendengar peluang dari media dan lingkungan”. Ini artinya suatu “tren”.
Jadi
kalau sesuatu itu sudah jadi tren waktu Anda mendengarnya, maka Anda
mungkin sudah terlambat untuk ikutan buka baju dan nyebur ke dalamnya.
Teori
ini saya lihat berulang kali menjadi kenyataan, dan berkali- kali
terjadi dalam berbagai jenis usaha yang dibuat berdasarkan tren.
Tahun
1998, ada tren warung tenda di Bandung. Di jalan Dago, setiap dua meter
ada warung tenda. Hal ini menjadi tren setelah beberapa orang yang
lebih dulu membuka warung tenda, nampak tetap berjalan baik diterpaan
angin krisis moneter. Ini membuat semua orang berbondong- bondong
berebut mengambil lahan 2,5 x 4 meter di trotoar, dan membuka warung
tendanya sendiri.
Dalam waktu singkat, warung tenda jadi tren yang
dahsyat! Lalu dalam waktu singkat pula, warung tenda hilang dari
ingatan warga Bandung, ketika trennya berlalu.
Mereka yang masih
bertahan dan bahkan tumbuh sampai sekarang adalah mereka yang memulai
usahanya sebelum hal itu menjadi trend, dan mereka yang hilang adalah
mereka yang sekedar mengikuti trend tersebut. Dan mereka yang rugi
besar? Adalah mereka yang mengikuti trend itu ketika sudah terlambat.
Tahun
2010, keripik pedas Maicih meledak seperti bom atom di Indonesia. Axl,
si pendiri, memulai bisnis ini, yang kemudian jadi suatu bidang usaha
yang ngetrend di berbagai kota. Disusul oleh beberapa brand keripik
lainnya yang masuk industri ini tidak lama setelah Maicih.
Saat
Maicih menjadi buah bibir media, segudang brand keripik dan varian
cemilan pedas lainnya mengikuti tren ini, dan nyebur ke dalam lautan
cabe. Beberapa tahun setelahnya, oversupply membuat tren ini mulai
mereda, dan malahan mencari keripik pedas mulai sulit dan tidak semudah
dulu.
Maicih dan segelintir brand lain yang mengawali tren ini
masih berjalan kuat, sementara mereka yang hanya mengikuti tren itu kini
semuanya sudah menghilang. Dan mereka yang rugi besar? Adalah mereka
yang mengikuti tren itu ketika sudah terlambat.
Kalau Anda mau
berhenti sejenak untuk mengingat- ingat, Anda bakal menemukan contoh
seperti ini bertebaran dalam jumlah yang banyak di masyarakat kita.
Masih ingatkah Anda dengan tren ikan Arwana dulu? Lalu tren investasi
pohon emas? Lalu tren bisnis ekspor tokek atau bahkan tren burung
beberapa tahun lalu? Kenalkah Anda dengan ratusan orang yang kehilangan
puluhan bahkan ratusan juta dalam tren- tren itu?
Tren adalah
salah satu petunjuk tentang apa yang sedang disukai dan diminati, dan
sedang menyerbu pasar di sekeliling kita. Kita perlu tahu tentang tren,
dan perlu mengamati potensi yang ada dalam suatu tren. Tetapi, berhati-
hatilah dalam memutuskan untuk meloncat masuk.
Seorang
passionpreneur adalah seseorang yang memutuskan dan menentukan bidang
usahanya bukan dengan mengikuti tren, tapi dengan mengikuti passion-nya,
melakukan apa yang penting untuknya, apa yang membuatnya dapat meraih
kepuasan, dan membuatnya mendapatkan makna dalam aktivitasnya.
Dengan
begitu, seorang passionpreneur akan lebih fokus, dan tidak mudah
terombang- ambing oleh apa yang lagi ngetrend. Seringkali, seorang
passionpreneur bukan mengikuti tren, tapi justru akan menciptakan tren!
Ketika
seorang passionpreneur melihat tren, dia bukan akan mengikutinya begitu
saja, tapi dia akan memanfaatkan tren itu untuk meningkatkan potensi
passion-nya sendiri.
Apa beda mengikuti dan memanfaatkan tren?
Misalnya,
ketika seseorang dengan passion membuat lagu melihat suatu tren, dia
bukan akan mengikuti tren itu, tapi dia akan membuat lagu tentangnya!
Memulai
suatu usaha hanya karena lagi ngetrend ibarat mencoba membangun rumah
tanpa fondasi yang kuat, dan karenanya, usaha dan profesi Anda itu tidak
akan atau kesulitan untuk dapat dipertahankan, dan tidak sustainable.
Ketika
Anda mau membangun profesi yang “Anda Banget”, Anda harus mempersiapkan
diri membangun profesi yang sustainable dan untuk jangka panjang!
Bagaimana
menurut Anda tentang tren batu akik saat ini? Yang mendadak menyerbu
pasaran dengan maut dan dahsyat? Apakah menurut Anda akan terjadi hal
yang sama? Bagaimana Anda dapat memanfaatkan tren ini untuk mengangkat
profesi dan passion Anda sendiri?
Sumber : Kompas.com